CERPEN : SURAT SI KAKI KECIL - i-Codee

Breaking

i-Codee

from Apriloza to you, "i know i share"

Post Top Ad

loading...
close

CERPEN : SURAT SI KAKI KECIL

Cerpen ini termaktub dalam Antalogi Cerpen berjudul "Jalan Terakhir"

Surat Si Kaki Kecil
Oleh : Apriloza

“Aku berjanji ini yang terakhir, Wak*. Setelah perahu itu berlabuh tidak ada lagi.”

Ucapan yang mengudara lebih hebat laksana deburan ombak yang terhempas bergilir pada bebatuan karang kokoh di sekitaran pesisir Lampung. Kesaksian matahari siang itu yang membakar setiap lubang porinya. Alunan setiap desau angin yang mengibaskan suara bising bendera dari puncak tertinggi keramba juga suara reot-reot kayu apung yang dipijaknya karena ombak yang seakan ikut serta membuatnya sadar.

“Kenapa sudah Din*? Nanti hatimu pilu.”

“Tidak Wak. Aku yakin surga itu bukan di laut. Surga itu di langit.”

“Lantas apa kau akan melempar surat itu ke langit Din? Ada-ada saja.”

“Tidak Wak. Biar doaku yang akan mengantarkannya ke langit.”

Uwak langsung terpaku seketika. Sesaat jemarinya meremas adukan pakan ikan yang sebentar lagi membuat ikan-ikan jingkrak menari di setiap petakannya. Seketika bayangan itu muncul. Membuatnya terperosok jatuh ke laut, kakinya kelu tak dapat bergerak. Semakin jatuh tenggelam dalam gelapnya ingatan.

Sepasang kaki kecil itu meninggalkan jejak panjang batas jelas daratan dan lautan. Kaki yang menciptakan lukisan pada butiran halus yang bersinar merekah oleh pantulan terik langit yang sebentar lagi susut ke ufuk barat. Lukisan-lukisan manusiawi yang hilang dan takkan abadi. Namun indah begitu terkikis oleh debur selimut tebal bernafas simfoni.

Angin semilir dari negeri pancaroba. Menerbangkan setiap bulir air mata si kaki kecil. Kaki yang sudah siap sedia menerima pecutan alam yang buyar saat berani menyentuhnya. Berdiri seribu kali lebih kokoh daripada karang lautan. Tapi hatinya rapuh seperti umang-umang yang berjalan pelan lalu terdampar.

Dahulu bunga disirami air, Berbulan-bulan ini air ditaburi bunga. Di tepian itulah puluhan mata menjadi saksi bunga terombang-ambing hembusan langit sampai menjadi berat, jatuh dan melekat menjadi bagian kecil dari samudera. Di sana jugalah tangan-tangan orang dewasa mulai menengadahkan doa mengisyaratkan satu salam untuknya yang tenang. Si kaki kecil yang lugu tak tahu apa itu. Tapi ia turut merasakan suasana khas yang pilu.

Sudah sekian hari Adin tak dapat menikmati setiap suapan dengan tenang. Semenjak senja terakhir itu. Walaupun matahari pagi masih seelok biasanya, hatinya tetap gundah gulana. Hanya merasa ada suatu perbedaan. Selalu menanyakan satu nama yang tak kunjung pulang. Sekali pun ada sosok Uwak yang lebih dari indah menjadi salah satu pelita di setiap gelap harinya, setelah Abah dan Mak tentunya.

Adin menghampiri Uwak pada balai-balai sejuk tepian. Mengisi setiap celah jaring yang lebih renggang. Mengawasi nyiur yang menari di setiap langkah mudanya yang terus berusia. Tidak sekali atau dua kali Adin melakukan hal yang sama. Menghampiri Uwak menyelinap dengan diam, mengerubuti pertanyaan yang seolah siap tempur tatkala rasa itu muncul. Tanpa jawaban Abah dan Mak, Hanya perangai Uwak yang dapat ia selami.

“Uwak, Kenapa Kiyai* tak kunjung pulang? Apa Kiyai-ku...”

“Duduk lah kemari Din. Jangan berfikir macam-macam.“

“Aku merindukannya, Wak”

Senyum Uwak pun merekah seketika, mencerahkan raut muka berpeluh yang mengucur dari celah pori. Uwak tampak berfikir, menggali-gali setiap memori yang sudah singgah dan melekat. Matanya menatap satu titik di tengah hamparan biru itu, menggiring pada sebuah sampan yang berlalu.

“Barang kali Adin masih ingat kisah Negeri Sorga di pulau seberang? Bukankah Mak juga Abah kerap kali bercerita?”

“Ya Wak, tempat penuh bahagia.”

“Apa Adin ingin mendengar kisahnya lagi?”

Uwak menatap ke langit luas. Pikirannya menyibak-nyibak setiap awan yang mengganggu impuls-impuls ingatan pada setiap syaraf otaknya.

Jadi dikisahkanlah kembali pada bocah belia ini.

Sebuah negeri di pulau seberang. Sebuah negeri seperti kebanyakan orang beranggapan. Sesiapa pun penghuni laksana malaikat. Dapat terbang dan berenang tanpa penghalang. Di sana, tepian pantai bersinar laksana butiran emas terpancar luas berserakan. Siang hari, langit berhiaskan pelangi. Begitu pun malam hari, langit ditaburi berjuta bintang yang berkelap-kelip. Penghuninya bebas menghentakkan kaki kesana-kemari, mau pagi dan malam. Tanpa lelah.

Setiap penghuni akan tampak bersinar, merona bagai kilauan mutiara. Mereka berbaju kristal bersayap lebar putih seperti merpati. Hinggap di setiap dahan-dahan perak berbuah berlian. Membuat siapa saja terbelalak matanya hingga mau copot. Sesiapa pun melabuhkan kapalnya berasa tak ingin pulang. Bagaimana tidak? nyaman sudah dengan segala keglamoran yang tak semudah itu didapat pada tanah pasir yang kebanyakan manusia pijak.

“Apa Adin bisa kesana Wak?”

“Bisa, tidak sekarang. Itu negeri yang sangaaaat jauh. Hanya orang pilihan yang bisa tinggal.”

“Tapi Adin bisa pergi sendiri Wak, sejauh apapun. Hanya untuk menjemput Kiyai.”

“Lautan itu luas, dan berbahaya Din. Satu-satunya cara Adin hanya boleh meninggalkan sepucuk surat lalu dihanyutkan. Kelak surat itu akan sampai di negeri bernama Sorga itu. Syaratnya satu, jika harapan pendoa bersungguh-sungguh.”

“Benarkah Wak? Tempat itu memang ada dan Mak tak pernah berbohong?”
Uwak pun mengangguk berirama sesuai hembusan angin yang berlalu begitu saja. Senyum Adin kembali merekah, melukiskan guratan bahagia pada wajah belianya. Matanya takjup menatap ombak yang menari-nari sesuai keinginan hati. Apapun isi otaknya, yang terefleksikan kebahagiaan Kiyai merupakan bahagianya. Tapi ada satu sisi yang akan terus mendongkrak hati yang sebenarnya. Perasaan rindu itu.
***

Hari demi hari, bulan terus berganti. Jika ukuran menjadi tolak ukur bagi sebuah pemikiran, maka hatinya akan mulai buncah. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bertebaran menggerogoti sebagian besar otaknya. Bersamaan dengan alas kaki yang tak lagi sanggup dikenai.

Langkahnya mulai ragu mendekati sampan sederhana. Satu-satunya hal yang dapat membenahi seluruh isi hati dan seberapa berantakan pikirannya. Ditaruhnya sepucuk surat lagi, seperti sebelum-sebelumnya. Dilapisi botol rapat supaya tak ada sesosok pengusik apapun, makhluk apapun, jenis badai manapun. Berharap surat itu akan berlabuh sampai menembus samudera sekali pun.

Didayungnya pelan menuju suatu titik yang terasa pas, luas dan langit pun dapat mengintip dari celah-celah awan, tanpa penghalang. Mungkin setelah ini ia akan berlabuh tapi hatinya tidak. Ingin sekali meneriaki surat yang sudah melayang terhempas gelombang sampai menghilang. Sudah seribu kali pikiran itu datang, ada hal yang baru ia sadari, surat yang tanpa jawaban.

Disisi lain, Uwak masih sibuk pada sederet benang yang menjadi alasannya untuk tetap bisa bertahan hidup. Merajut setiap rongga yang membutuhkan penghubung supaya dunia bisa menikmati kesegaran hidup lautan. Masa yang selalu dinantikan setiap pemilik keramba. Panen.

Inilah kebahagiaan Uwak yang tak terhingga, kebahagiaan yang berlalu hanya setiap beberapa bulan sekali. Uwak memang bahagia tapi tidak Abah dan Mak-nya Adin yang mendadak kebingungan. 

“Adin menghilang”, ucap Abahnya Adin samar dari kejauhan.

Rasa itu seketika muncul, menjatuhkan Uwak pada lubang ingatan. Bertahun-tahun lalu, di tengah malam yang tak melingkarkan sempurna hiasan langit dan beribu bintang gemintang menari. Lautan yang mendatangkan banyak keberuntungan, ikan berjingkrakan pada jala-jala harapan. Begitulah keindahan malam yang terbakar habis sudah oleh kehilangan. Kehilangan? Itu adalah malam yang kelam bagi siapa saja yang memandang obor-obor datang berjalan melingkari belahan pantai. Itu adalah saat lelapnya si kaki kecil yang tenang dalam kehangatan. Ia tak pernah tahu, dan tak boleh tahu kepanikan yang sedang memburu.

“Apa jasadnya ditemukan?” ucap salah seorang warga ditengah keramaian.

“Tidak. Sepertinya ia terperosok, sakitnya kumat lalu tenggelam” Terka seorang yang dirasa mengetahui lebih banyak hal.

Memang betul, bukan rahasia umum. Menurut sebagian tetangga penyakit Kiyai-nya sudah semakin miris. Penyakit itu datang tanpa pula pamit. Semaunya saja datang tanpa tahu waktu. Beban itu lah yang terus menggerogoti tubuhnya hingga tampak tinggal kulit dan tulang.

Tubuh Uwak seketika terperanjat dari lamunan, bukankah hari sudah menjelang malam. Adin tak kunjung datang. Ditinggalkannya berserakan kumpulan benang-benang yang sebagian telah terhubung itu. Pikirannya menggunungkan kekhawatiran, rasa itu rasa yang tak mungkin ingin diulang. Kehilangan.

Beramai-ramai ditelusurinya tepian pantai sampai langit benar-benar menyisakan setitik saja cahaya kuning yang lama-lama larut dalam hitamnya malam. Ombak juga tak lagi bersahabat untuk seorang bocah yang baru saja mentas dari masa kanak-kanaknya. Sampai kebimbangan itu tersurutkan oleh teriakannya di ujung sampan. Adin Pulang.
Ia terbangun dari lamunan, tersadarkan oleh sebuah panggilan

“Uwak..Wak?”

“Iya Din?”

“Bisa Uwak jelaskan sejujurnya?”

“Lantas kau akan mencari surga itu lagi din? Seperti kejadian malam itu.”

“Tidak Wak, sudah kubilang ini surat yang terakhir.”

Sering sudah Adin mendengar kisah soal Negeri Sorga di seberang sana. Tapi hari itulah dimana kaki kecilnya sudah siap dan lebih dari kokoh menopang gerak tubuhnya bahkan hantaman ombak sekalipun, takkan menggoyahkannya. Kaki yang terus bertumbuh dan mendewasa.

“Kau pasti tahu laut,kau pasti tahu surga,” Uwak menaruh ember berisi pakan ikan itu. mendekati Adin yang gusar dengan sebuah jawaban. “mereka semua ada. Seperti kau melihat laut saat ini. Maka surga pun ada. Tapi tidak pada dimensi yang sama. Mereka saling berhubungan. Bagi kehidupan nelayan surga dan lautan itu berhubungan. Semua sama-sama sesuatu yang harus dicapai dengan sebuah usaha. Ketika kau mendayung sampan untuk dapat mencapai lautan, maka kau harus beribadah untuk mencapai suatu tempat bernama surga.”

“Kisah itu sebenarnya tak salah Din. Kiyai memang ada diseberang sana, tidak pula ia menginginkannya. Tidak juga laut berusaha mencuri Kiyai darimu. Itulah kisah hidup yang bernama takdir,” Uwak merangkul tubuh Adin, mengusap-usap rambutnya “dan bunga-bunga yang sering kau lihat dikala senja, sama dengan surat itu Din. Tujuannya satu, doa untuk Kiyai di samudera. Agar Kiyai-mu tenang disana”

“Harusnya aku sadar, ia memang sudah lama tenang.”

(Bandar Lampung, 2015)
catatan:
*Uwak: kakak dari ayah
* Adin: kakak laki setelah kiyai
* Kiyai: Kakak laki tertua




kata kunci:
cerpen surat si kaki kecil, cerpen koran, contoh cerpen remaja, contoh cerpen laut, contoh cerpen romansa, cerpen percintaan, cerpen sosial, cerpen politik, contoh cerpen anak, contoh cerpen nelayan, cerpen sastra, penerbit anlitera, cerpen sedih, cerpen humor, cerpen lucu, cerpen, terbaru, cerpen koran minggu, surat, puisi.

1 comment:

  1. Coin Casino Review - Games, Bonuses, Banking & Mobile
    A detailed review of Coin Casino. 카지노사이트 A free online 인카지노 casino for your bk8 mobile device, a comprehensive review of games, banking & banking options,

    ReplyDelete

Halo, Admin menunggu komentar anda. Katakan sesuatu tentang postingan ini!

Post Top Ad

loading...